Jumat, 02 Desember 2011

RENUNGAN UNTUK TEMAN-TEMAN DOSEN

   Untuk bahan renungan, marilah kita simak kisah berikut ini. Kisah ini diambil dari sebuah episode ramayana di dunia pewayangan/pedalangan dalam lakon Sugriwo-Subali. Alkisah ada seorang Resi (jaman sekarang barangkali setara Guru Besar) bernama Resi Gutomo, mempunyai seorang isteri yang sangat cantik (kira-kira setara dengan perdana menteri Thailand) bernama Dewi Hapsari dan mempunyai dua putra bernama Sugriwo dan Subali serta seorang putri bernama Anjani. 
     Karena kencatikannya itu, banyak pria lain yang tergila-gila dengan Dewi Hapsari, dan akhirnya terjadilah kasus perselingkuhan antara Dewi Hapsari dengan seorang dewa. Sebagai imbalannya Dewi Hapsari diberi hadiah Cupu Manik Astogino. Cupu ini mempunyai kesaktian dapat mendatangkan kenikmatan duniawi apa saja yang diminta/diinginkan oleh pemiliknya. Singkat cerita, karena naluri keibuannya, Cupu Manik Astogino ini oleh sang ibu diberikan kepada puterinya si Anjani. Namun akhirnya pemberian itu diketahui oleh Sugriwo dan Subali dan mereka ingin memiliki juga. Maka terjadilah kegaduhan untuk berebut Cupu Manik Astogino yang pada akhirnya kegaduhan itu diketahui oleh Sang Resi Gutomo. 
    Menindaklanjuti kegaduhan tersebut, maka dipanggilah isteri dan ketiga anaknya untuk dilakukan klarifikasi duduk persoalannya. Setelah semua menghadap ditanyailah satu persatu darimana asal usul Cupu Manik Astogino tersebut dan akhirnya sang isteri ditanya. Isteriku yang cantik, darimana dikau mendapatkan Cupu Manik Astogino ini? Dewi Hapsari diam seribu bahasa, tidak menjawab, karena takut, malu, arogan dan gengsi. Ditanya tidak mau menjawab, maka marahlah Resi Gutomo : "ditanya diam saja seperti patung!", dan apa yang terjadi, ... Dewi Hapsari berubah menjadi patung. 
    Inilah korban pertama Cupu Manik Astogino, inilah pelajaran pertama dari lakon ini, perselingkuhan dan ketidak jujuran membawa malapetaka dalam kehidupan seorang manusia. Tidak berakhir disini, dalam episode berikutnya Anjani, Sugriwo dan Subali berubah rupa menjadi kera/monyet karena terus berebut Cupu Manik Astogino. Padahal Resi Gutomo sudah memperingatkan dan melarang untuk tidak berebut Cupu Manik Astogino. 
    Dalam kisah pedalangan nasib Sugriwo dan Subali merupakan kisah tragedi kemanusiaan yang sangat menyedihkan. Semoga Serdos tidak menjadi Cupu Manik Astogino. Marilah kita jaga martabat dan nilai luhur yang terkandung dalam Serdos, yaitu meningkatkan profesionalisme dan budaya akademik berlandaskan kejujuran. 
    Bagi sejawat para dosen yang berhasil lulus tidak perlu berlebihan menyikapinya, karena justru kelulusan ini momentum untuk meningkatkan kualitas pengabdian kita untuk mengemban amanah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi sejawat dosen yang belum lulus, sangat bisa dimengerti dan dipahami kekecewaan yang dialami, tetapi masih ada harapan, mari kita ambil hikmahnya. Keingintahuan sebab ketidak lulusan dapat disalurkan sesuai dengan prosedur yang sudah disepakati oleh seluruh PTPS dan Dikti. (Di ambil dari Forum Suara Anda, http://serdos.dikti.go.id; Muh Zainuddin . L . mzain1809@yahoo.com)

Jumat, 02 September 2011

TUJUH BELAS AGUSTUS PALING BERKESAN

    Tiap tahun kita memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu tanggal 17 Agustus. Demikian juga dengan apa yang saya alami. Sekarang ini usia saya sudah 42 tahun. Kalau dihitung memperingati hari kemerdekaan dimulai dari kelas 1 SD (Tahun 1977), saya sudah memperingati hari kemerdekaan sebanyak 34 kali. Dari 34 kali ikut memperingati hari kemerdekaan, baru tahun ini, Tahun 2011 terasa spesial bagi saya. Ya, sangat ...sangat... sangat... spesial. Apa ya?
    Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di Universitas Setia Budi diadakan pada hari Rabu, 17 Agustus 2011, dimulai pukul 07.30 WIB. Begitu datang saya sudah salah tingkah. Apa penyebabnya? Seragam yang saya pakai ternyata keliru. Kalau teman-teman memakai seragam batik yang biasa dipakai hari Kamis, saya memakai seragam biru muda yang biasa dipakai hari Senin. Lha gimana nih. Banyak teman-teman yang menggoda atas kekeliruan ini. Saya jadi kikuk dan malu. Begitu upacara dimulai, saya memilih berdiri di posisi paling belakang. Biar tidak mencolok. Saya merasa lebih malu lagi, apabila kekeliruan seragam saya dilihat oleh mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti upacara.
    Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan pemberian penghargaan bagi dosen pengampu terbaik. Kriteria terbaik ditentukan oleh penilaian yang dilakukan oleh mahasiswa melalui kuisioner yang dilakukan oleh Biro Penjaminan Mutu (BPM) Universitas Setia Budi. Pemberian penghargaan dimulai dari Fakultas Farmasi. Ada 5 orang dosen yang mendapat penghargaan yaitu Dra. Elina Hartono, M.Si., Dra. Rika Widyapranata, Drs. Mardiyono, M.Si., Nuraini Harmastuti, M.Si., dan Titik Sunarni, Apt., M.Si. Fakultas Ilmu Kesehatan yaitu Ratno Agung SS., M.Sc., dan Dra. Kartinah, SU. Fakultas Ekonomi yaitu Sugiarti SE., M.Sc. dan Drs. Sugiyarmasto MM. Fakultas Psikologi Ibu Isti dan Bu Endang. Fakultas Teknik yaitu Ibu Rosleini, MT. dan M. Endah Prasadja, MT. Mereka yang mendapat sebagian besar adalah struktural/pejabat-pejabat.
    Ada salah satu teman yang bercanda,"Dosen yang mendapat penghargaan adalah dosen "Terbaik" sedangkan dosen yang tidak mendapatkan penghargaan adalah "DOSEN TERBALIK". Geer.... teman-teman pada tertawa.
   Pada akhir pengumuman ternyata dipilih juga Dosen Peneliti Terbaik di Universitas Setia Budi. Dan ternyata........ Saya seakan tidak percaya nama saya dipanggil untuk mendapatkan penghargaan tersebut. Alhamdulillah....Subhanallah......Allahu Akbar. Berkat kuasa-Mu ya Allah, hamba mendapatkan nikmat yang luar biasa ini.
    Setelah acara selesai teman-teman memberi selamat dan menanyakan apa hadiahnya (Berapa rupiahnya). Saya menjawab apa adanya, hanya selembar sertifikat teman-teman. Ya hanya selembar sertifikat, tetapi sangat berkesan bagi saya. Penghargaan tersebut merupakan pengakuan insitusi terhadap apa yang telah saya lakukan yang sejak tahun 2006 mendapatkan pendanaan penelitian dari berbagai institusi.