Senin, 01 Juli 2013
Rabu, 12 Juni 2013
DUNIA WANITA MAJALAH UMMI
KONFLIK MENANTU-MERTUA
Oleh : Sulistyo Rini*
Dimuat di Majalah UMMI Edisi 05 I XVII I 2005 hal. 76
K
|
etika seorang memutuskan masuk
dalam kehidupan berumah tangga maka banyak hal yang harus dipersiapkan. Menikah
itu tidak hanya antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan, tapi
berarti menyatukan dua keluarga. Memang kadang-kadang hal-hal yang diinginkan
tidak selalu sesuai dengan harapan, misalnya perbedaan latar belakang keluarga
yang bisa menimbulkan berbagai masalah.
Seorang
ibu pernah bercerita tentang sang menantu perempuan yang tidak bisa menerima
keadaan keluarga suaminya. Suami yang anak bungsu adalah satu-satunya anak yang
dikuliahkan hingga menjadi sarjana dan bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah
instansi pemerintah. Ibunya berharap kelak anaknya bisa membantu saudaranya
yang lain. Tetapi harapan sang ibupun memudar ketika anaknya menikah anaknya
segera memutuskan menikah sebelum bisa membantu saudaranya. Seolah semakin
memupus harapan sang ibu, ternyata menantu perempuannya itu juga tidak mau tahu
dengan keadaan keluarga suaminya. Bahkan sekedar berkunjung pun enggan, padahal
rumah mereka hanya berjarak beberapa meter saja.
Dari
sini saya berpikir, apakah seorang mertua perempuan dan seorang menantu
perempuan harus selalu berkonflik? Di televisipun saya melihat iklan yang
mengangkat konflik ini misalnya, “Menantu jaman sekarang, suka boros…,” atau
“Menantu jaman sekarang, disuruh ini susah…”. Menurut saya ini merupakan
pendapat umum bahwa seringkali terjadi konflik menantu –mertua.
Kebetulan,
saya hidup bersama mertua. Tetapi, saya tidak pernah menganggap mertua saya
adalah orang lain. Beliau adalah juga ibu saya, keluarga suamipun saya anggap
juga keluarga sendiri meskipun perbedaan antara keluarga kami sangat banyak.
Prinsip saya, ketika memutuskan untuk menikah, maka tidak ada lagi kata mertua
dan menantu, yang ada adalah ibu (orangtua) dan anak. Ibu mertua saya pun tidak
pernah mengenalkan saya sebagai menantunya, tetapi mengenalkan saya sebagai
anaknya.
Awalnya,
saya memang tidak bisa langsung memahami ibu mertua. Waktu itu saya melihat ibu
mertua khawatir jika saya tidak bisa mengerti keadaan keluarga suami.
Sebenarnya, saya sendiri berusaha memahami mereka. Terhadap ibu mertua, saya
hanya menerapkan rasa sabar dan mengalah karena semakin tua umur seseorang,
mereka semakin butuh perhatian, kasih
sayang dan pengertian dari kita yang lebih muda. Itu berhasil. Kami sepertinya
saling memahami dan menyayangi sebagaimana ibu dan anak perempuannya.
Jadi
jika ada anggapan mertua itu nyinyir atau galak, sebenarnya salah. Jika
sebagai anak bisa ikut berempati pada apa yang bisa dirasakannya dan bersabar
menghadapi semua keluhannya, Insya Allah semua akan berjalan dengan baik tanpa
ada konflik. Orangtua suami adalah orangtua istri juga. Maka cintailah mertua
seperti mencintai orangtua kandung kita. Hiduppun akan lebih indah.
==============oOo=============
KOLOM AYAH
MENELADANI AYAH
Oleh : Sunardi
Oleh : Sunardi
Dimuat di Majalah UMMI Edisi 07 XVIII 2006 Hal. 33
B
|
uruh tani dan tidak berpendidikan
itulah ayah saya. Saya mengenalkan agama Islam kepada ayah setelah saya
diterima di perguruan tinggi.
Sebelumnya, Islam yang dikenal ayah hanyalah, boleh dibilang, Islam KTP. Ia beragama
Islam, tetapi belum melaksanakan rukun
Islam, terutama shalat dan puasa.
Meskipun
hanya buruh tani, ayah adalah pekerja keras; semua demi menghidupi istri dan
empat anaknya. Dan sebagai buruh tani, penghasilan ayah tentu jauh dari cukup
untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Alhamdulillah, ibu
membantunya dengan berdagang sayur mengelilingi perumahan dosen di dekat rumah.
Saya
adalah satu-satunya anak ayah yang memperoleh kesempatan melanjutkan kuliah di
di sebuah perguruan tinggi di Semarang. Ini yang terlupakan: saat masih kos,
hampir setiap malam saya merasa seakan-akan ada yang membangunkan tidur saya.
Saya pun terbangun, shalat dan belajar. Namun, satu pertanyaan terus
bergelayut, kenapa hampir setiap malam saya selalu terbangun?
Setelah
lima tahun saya menempuh S-1, akhirnya saya pun dapat menyelesaikan studi
dengan baik. Dan itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi orang tua saya:
anak buruh tani meraih gelar sarjana.
Setelah
lulus dan pulang ke rumah, barulah terjawab mengapa hampir setiap malam saya
terbangun. Ternyata, ayah yang saya kenalkan pada agama Islam, memiliki amalan
yang lebih. Dia rajin shalat tahajud. Puasa Senin-Kamis-nya hampir tidak
terputus kecuali di waktu sakit. Ia rajin shalat Subuh dan Isya berjamaah di
masjid yang jaraknya setengah kilometer dari rumah kami. Ayah telah menjadikan
shalat, puasa, dan zikir sebagai sarana untuk memohon pertolongan Allah. Setiap
tetesan keringat dan desah nafasnya selalu mendoakan keberhasilan saya.
Kini,
telah tujuh tahun lebih ayah meninggalkan kami. Ia wafat di usianya yang ke-65.
Dan ia meninggalkan warisan yang sangat berharga kepada saya, yaitu bekerja
keras, shalat tahajud, dan puasa. Memang sayalah saya mengenalkan agama Islam kepadanya. Namun, dalam amalan
shalat tahajud dan puasa, saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.
Sekarang
saya hanya bisa mengenang ayah. Saya sadar, mengenang ayah ayah merupakan suatu
muhasabah bagi saya sendiri. Saya ingin meneladani apa yang sudah ayah lakukan.
Dan saya berharap bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anak saya.
Ayah
adalah kebanggan saya. Saya juga sadar, saya merupakan kebanggan ayah. Sebuah
doa senantiasa saya lantunkan: Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhumma
kamma robbayani shoghiiro.
Langganan:
Postingan (Atom)