KONFLIK MENANTU-MERTUA
Oleh : Sulistyo Rini*
Dimuat di Majalah UMMI Edisi 05 I XVII I 2005 hal. 76
K
|
etika seorang memutuskan masuk
dalam kehidupan berumah tangga maka banyak hal yang harus dipersiapkan. Menikah
itu tidak hanya antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan, tapi
berarti menyatukan dua keluarga. Memang kadang-kadang hal-hal yang diinginkan
tidak selalu sesuai dengan harapan, misalnya perbedaan latar belakang keluarga
yang bisa menimbulkan berbagai masalah.
Seorang
ibu pernah bercerita tentang sang menantu perempuan yang tidak bisa menerima
keadaan keluarga suaminya. Suami yang anak bungsu adalah satu-satunya anak yang
dikuliahkan hingga menjadi sarjana dan bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah
instansi pemerintah. Ibunya berharap kelak anaknya bisa membantu saudaranya
yang lain. Tetapi harapan sang ibupun memudar ketika anaknya menikah anaknya
segera memutuskan menikah sebelum bisa membantu saudaranya. Seolah semakin
memupus harapan sang ibu, ternyata menantu perempuannya itu juga tidak mau tahu
dengan keadaan keluarga suaminya. Bahkan sekedar berkunjung pun enggan, padahal
rumah mereka hanya berjarak beberapa meter saja.
Dari
sini saya berpikir, apakah seorang mertua perempuan dan seorang menantu
perempuan harus selalu berkonflik? Di televisipun saya melihat iklan yang
mengangkat konflik ini misalnya, “Menantu jaman sekarang, suka boros…,” atau
“Menantu jaman sekarang, disuruh ini susah…”. Menurut saya ini merupakan
pendapat umum bahwa seringkali terjadi konflik menantu –mertua.
Kebetulan,
saya hidup bersama mertua. Tetapi, saya tidak pernah menganggap mertua saya
adalah orang lain. Beliau adalah juga ibu saya, keluarga suamipun saya anggap
juga keluarga sendiri meskipun perbedaan antara keluarga kami sangat banyak.
Prinsip saya, ketika memutuskan untuk menikah, maka tidak ada lagi kata mertua
dan menantu, yang ada adalah ibu (orangtua) dan anak. Ibu mertua saya pun tidak
pernah mengenalkan saya sebagai menantunya, tetapi mengenalkan saya sebagai
anaknya.
Awalnya,
saya memang tidak bisa langsung memahami ibu mertua. Waktu itu saya melihat ibu
mertua khawatir jika saya tidak bisa mengerti keadaan keluarga suami.
Sebenarnya, saya sendiri berusaha memahami mereka. Terhadap ibu mertua, saya
hanya menerapkan rasa sabar dan mengalah karena semakin tua umur seseorang,
mereka semakin butuh perhatian, kasih
sayang dan pengertian dari kita yang lebih muda. Itu berhasil. Kami sepertinya
saling memahami dan menyayangi sebagaimana ibu dan anak perempuannya.
Jadi
jika ada anggapan mertua itu nyinyir atau galak, sebenarnya salah. Jika
sebagai anak bisa ikut berempati pada apa yang bisa dirasakannya dan bersabar
menghadapi semua keluhannya, Insya Allah semua akan berjalan dengan baik tanpa
ada konflik. Orangtua suami adalah orangtua istri juga. Maka cintailah mertua
seperti mencintai orangtua kandung kita. Hiduppun akan lebih indah.
==============oOo=============