Rabu, 12 Juni 2013

DUNIA WANITA MAJALAH UMMI

KONFLIK MENANTU-MERTUA
Oleh : Sulistyo Rini*
Dimuat di Majalah UMMI Edisi 05 I XVII I 2005 hal. 76

K
etika seorang memutuskan masuk dalam kehidupan berumah tangga maka banyak hal yang harus dipersiapkan. Menikah itu tidak hanya antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan, tapi berarti menyatukan dua keluarga. Memang kadang-kadang hal-hal yang diinginkan tidak selalu sesuai dengan harapan, misalnya perbedaan latar belakang keluarga yang bisa menimbulkan berbagai masalah.
    Seorang ibu pernah bercerita tentang sang menantu perempuan yang tidak bisa menerima keadaan keluarga suaminya. Suami yang anak bungsu adalah satu-satunya anak yang dikuliahkan hingga menjadi sarjana dan bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah instansi pemerintah. Ibunya berharap kelak anaknya bisa membantu saudaranya yang lain. Tetapi harapan sang ibupun memudar ketika anaknya menikah anaknya segera memutuskan menikah sebelum bisa membantu saudaranya. Seolah semakin memupus harapan sang ibu, ternyata menantu perempuannya itu juga tidak mau tahu dengan keadaan keluarga suaminya. Bahkan sekedar berkunjung pun enggan, padahal rumah mereka hanya berjarak beberapa meter saja.
      Dari sini saya berpikir, apakah seorang mertua perempuan dan seorang menantu perempuan harus selalu berkonflik? Di televisipun saya melihat iklan yang mengangkat konflik ini misalnya, “Menantu jaman sekarang, suka boros…,” atau “Menantu jaman sekarang, disuruh ini susah…”. Menurut saya ini merupakan pendapat umum bahwa seringkali terjadi konflik menantu –mertua.
     Kebetulan, saya hidup bersama mertua. Tetapi, saya tidak pernah menganggap mertua saya adalah orang lain. Beliau adalah juga ibu saya, keluarga suamipun saya anggap juga keluarga sendiri meskipun perbedaan antara keluarga kami sangat banyak. Prinsip saya, ketika memutuskan untuk menikah, maka tidak ada lagi kata mertua dan menantu, yang ada adalah ibu (orangtua) dan anak. Ibu mertua saya pun tidak pernah mengenalkan saya sebagai menantunya, tetapi mengenalkan saya sebagai anaknya.
     Awalnya, saya memang tidak bisa langsung memahami ibu mertua. Waktu itu saya melihat ibu mertua khawatir jika saya tidak bisa mengerti keadaan keluarga suami. Sebenarnya, saya sendiri berusaha memahami mereka. Terhadap ibu mertua, saya hanya menerapkan rasa sabar dan mengalah karena semakin tua umur seseorang, mereka semakin butuh  perhatian, kasih sayang dan pengertian dari kita yang lebih muda. Itu berhasil. Kami sepertinya saling memahami dan menyayangi sebagaimana ibu dan anak perempuannya.
    Jadi jika ada anggapan mertua itu nyinyir atau galak, sebenarnya salah. Jika sebagai anak bisa ikut berempati pada apa yang bisa dirasakannya dan bersabar menghadapi semua keluhannya, Insya Allah semua akan berjalan dengan baik tanpa ada konflik. Orangtua suami adalah orangtua istri juga. Maka cintailah mertua seperti mencintai orangtua kandung kita. Hiduppun akan lebih indah.

==============oOo=============

*Ibu Rumah Tangga

KOLOM AYAH

MENELADANI AYAH
Oleh : Sunardi
Dimuat di Majalah UMMI Edisi 07 XVIII 2006 Hal. 33

B
uruh tani dan tidak berpendidikan itulah ayah saya. Saya mengenalkan agama Islam kepada ayah setelah saya diterima di perguruan  tinggi. Sebelumnya, Islam yang dikenal ayah hanyalah, boleh dibilang, Islam KTP. Ia beragama Islam, tetapi belum melaksanakan  rukun Islam, terutama shalat dan puasa.
      Meskipun hanya buruh tani, ayah adalah pekerja keras; semua demi menghidupi istri dan empat anaknya. Dan sebagai buruh tani, penghasilan ayah tentu jauh dari cukup untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Alhamdulillah, ibu membantunya dengan berdagang sayur mengelilingi perumahan dosen di dekat rumah.
    Saya adalah satu-satunya anak ayah yang memperoleh kesempatan melanjutkan kuliah di di sebuah perguruan tinggi di Semarang. Ini yang terlupakan: saat masih kos, hampir setiap malam saya merasa seakan-akan ada yang membangunkan tidur saya. Saya pun terbangun, shalat dan belajar. Namun, satu pertanyaan terus bergelayut, kenapa hampir setiap malam saya selalu terbangun?
      Setelah lima tahun saya menempuh S-1, akhirnya saya pun dapat menyelesaikan studi dengan baik. Dan itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi orang tua saya: anak buruh tani meraih gelar sarjana.
    Setelah lulus dan pulang ke rumah, barulah terjawab mengapa hampir setiap malam saya terbangun. Ternyata, ayah yang saya kenalkan pada agama Islam, memiliki amalan yang lebih. Dia rajin shalat tahajud. Puasa Senin-Kamis-nya hampir tidak terputus kecuali di waktu sakit. Ia rajin shalat Subuh dan Isya berjamaah di masjid yang jaraknya setengah kilometer dari rumah kami. Ayah telah menjadikan shalat, puasa, dan zikir sebagai sarana untuk memohon pertolongan Allah. Setiap tetesan keringat dan desah nafasnya selalu mendoakan keberhasilan saya.
    Kini, telah tujuh tahun lebih ayah meninggalkan kami. Ia wafat di usianya yang ke-65. Dan ia meninggalkan warisan yang sangat berharga kepada saya, yaitu bekerja keras, shalat tahajud, dan puasa. Memang sayalah saya mengenalkan  agama Islam kepadanya. Namun, dalam amalan shalat tahajud dan puasa, saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.
  Sekarang saya hanya bisa mengenang ayah. Saya sadar, mengenang ayah ayah merupakan suatu muhasabah bagi saya sendiri. Saya ingin meneladani apa yang sudah ayah lakukan. Dan saya berharap bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anak saya.
   Ayah adalah kebanggan saya. Saya juga sadar, saya merupakan kebanggan ayah. Sebuah doa senantiasa saya lantunkan: Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhumma kamma robbayani shoghiiro.

                                                           ===========oOo============