Rabu, 12 Juni 2013

KOLOM AYAH

MENELADANI AYAH
Oleh : Sunardi
Dimuat di Majalah UMMI Edisi 07 XVIII 2006 Hal. 33

B
uruh tani dan tidak berpendidikan itulah ayah saya. Saya mengenalkan agama Islam kepada ayah setelah saya diterima di perguruan  tinggi. Sebelumnya, Islam yang dikenal ayah hanyalah, boleh dibilang, Islam KTP. Ia beragama Islam, tetapi belum melaksanakan  rukun Islam, terutama shalat dan puasa.
      Meskipun hanya buruh tani, ayah adalah pekerja keras; semua demi menghidupi istri dan empat anaknya. Dan sebagai buruh tani, penghasilan ayah tentu jauh dari cukup untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Alhamdulillah, ibu membantunya dengan berdagang sayur mengelilingi perumahan dosen di dekat rumah.
    Saya adalah satu-satunya anak ayah yang memperoleh kesempatan melanjutkan kuliah di di sebuah perguruan tinggi di Semarang. Ini yang terlupakan: saat masih kos, hampir setiap malam saya merasa seakan-akan ada yang membangunkan tidur saya. Saya pun terbangun, shalat dan belajar. Namun, satu pertanyaan terus bergelayut, kenapa hampir setiap malam saya selalu terbangun?
      Setelah lima tahun saya menempuh S-1, akhirnya saya pun dapat menyelesaikan studi dengan baik. Dan itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi orang tua saya: anak buruh tani meraih gelar sarjana.
    Setelah lulus dan pulang ke rumah, barulah terjawab mengapa hampir setiap malam saya terbangun. Ternyata, ayah yang saya kenalkan pada agama Islam, memiliki amalan yang lebih. Dia rajin shalat tahajud. Puasa Senin-Kamis-nya hampir tidak terputus kecuali di waktu sakit. Ia rajin shalat Subuh dan Isya berjamaah di masjid yang jaraknya setengah kilometer dari rumah kami. Ayah telah menjadikan shalat, puasa, dan zikir sebagai sarana untuk memohon pertolongan Allah. Setiap tetesan keringat dan desah nafasnya selalu mendoakan keberhasilan saya.
    Kini, telah tujuh tahun lebih ayah meninggalkan kami. Ia wafat di usianya yang ke-65. Dan ia meninggalkan warisan yang sangat berharga kepada saya, yaitu bekerja keras, shalat tahajud, dan puasa. Memang sayalah saya mengenalkan  agama Islam kepadanya. Namun, dalam amalan shalat tahajud dan puasa, saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya.
  Sekarang saya hanya bisa mengenang ayah. Saya sadar, mengenang ayah ayah merupakan suatu muhasabah bagi saya sendiri. Saya ingin meneladani apa yang sudah ayah lakukan. Dan saya berharap bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anak saya.
   Ayah adalah kebanggan saya. Saya juga sadar, saya merupakan kebanggan ayah. Sebuah doa senantiasa saya lantunkan: Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhumma kamma robbayani shoghiiro.

                                                           ===========oOo============

Tidak ada komentar:

Posting Komentar